Sate, hidangan daging bakar yang paling populer di Indonesia. Dijajakan dari kaki lima hingga restoran bintang lima. Tak lengkap sebuah hajatan tanpa kehadiran sate. Pendeknya, sate adalah menu spesial yang begitu lekat dengan masyarakat Indonesia. Tak terkecuali bagi Poetro Sambegoro MSME., Ph.D. Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) ini membuat panggangan sate dengan pengaturan radiasi inframerah. Dengan alat buatannya ini, diharapkan sate bisa dibuat lebih enak dan sehat.
Poetro, seperti orang Indonesia kebanyakan, menyukai sate dan citarasa daging yang dibakar. Ia bahkan punya langganan sate, Pak Syamsul, yang biasa lewat di depan rumahnya. Meskipun sate Pak Syamsul harganya harga kaki lima, namun rasanya bintang lima. Jangan salah, ada juga sate yang tak masuk di lidah. Ada yang hasil bekarannya terlalu kering sehingga dagingnya alot.
“Kalau kita hubungkan dengan perkembangan penelitian tentang makanan, misalnya meat science di luar negeri, daging ada yang dimasak rare, medium, well done. Temperatur (pembakaran) yang berbeda-beda menghasilkan cita rasa yang berbeda-beda juga,” kata Poetro dalam sesi wawancara, Selasa (6/4/2021).
Olahan daging bakar pada hidangan Indonesia, termasuk sate, belum diperlakukan seperti itu. Di Indonesia, barangkali hanya restoran yang menyajikan steak ala western yang sudah melakukan hal tersebut. Sebagaimana menu tradisional, resep sate dikuasai turun-temurun. Para tukang sate sudah menguasai ilmu pembuatan sate bertahun-tahun, bahkan lintas generasi. Ilmu ini sudah menjadi sebuah “local wisdom” sehingga mungkin membuat sate yang enak sulit diformulasikan dengan pasti.
Baca Juga:
Kursi Roda Canggih untuk Difabel Produktif
“Dengan penelitian ini, (pertanyaan penelitiannya) apa sih yang membuat sate terasa enak? Kemudian, bisa tidak ya, katakanlah sate yang terasa kurang enak menjadi lebih enak dari yang ada sekarang. Atau kalau yang sudah enak, apakah bisa kita bantu agar lebih enak?” kata peneliti dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ini.
Proses pembakaran sate sesungguhnya merupakan proses fisika dan kimia yang rumit. Jika proses itu bisa terkuantifikasi, maka informasi atau formula pembakaran daging untuk membuat sate yang enak bisa lebih mudah dikomunikasikan dan disebar ke khalayak.
Poetro bersama timnya dari Kelompok Keahlian Konversi Energi membuat alat panggangan sate dengan kontrol radiasi sehingga harapannya dapat memanggang dengan efisien pada temperatur reaksi Maillard yang stabil dan merata. “Reaksi ini yang membuat daging jika dibakar secara visual terlihat lebih kecoklatan dan menggugah selera. Warnanya lebih menarik, aromanya lebih lezat, dan rasanya lebih kompleks. Itu semua isinya (hasil) reaksi (kimia),” kata Poetro.
Pembuatan alat ini didahului oleh proses pemodelan, yaitu peneliti membuat prediksi teoritik pada daging yang dipanggang dengan menggunakan persamaan perpindahan panas dan massa. Prediksi ini dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak metode elemen hingga untuk mengetahui temperatur dan waktu pembakaran yang dibutuhkan.
Halaman berikutnya: tidak menghasilkan asap...