Tepung hasil arang batok yang dihaluskan tadi kemudian dicampur dengan bahan perekat, seperti lem kayu. Bisa juga dicampur dengan tepung kanji yang sudah menjadi lem. Cara ini bisa digunakan untuk menekan biaya produksi. Setelah dicampur, kemudian dicetak sesuai dengan selera masing-masing. Briket untuk keperluan ekspor biasanya dicetak dalam bentuk kubus berukuran 2,5 cm.
Briket yang seluruhnya dibuat dari batok kelapa, tanpa campuran sekam, jerami, atau bahan lain akan mempunyai hasil pembakaran yang kebih baik. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan batok kelapa murni. Setiap 5 kg batok kelapa biasanya akan menjadi 1 kg briket.
Melalui proses destilasi, asap pekat pembakaran pembakaran tempurung kelapa berubah menjadi asap cair di ruang kedua. Asap cair mengandung fenol dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan sehingga bisa digunakan untuk mengawetkan makanan maupun perstisida alami.
Asap cair ini bisa digunakan untuk menggantikan formalin sebagai pengawet. Susanna mengatakan, mayoritas warga di daerah pesisir seperti di Desa Kote bermatapencaharian sebagai nelayan. Mereka biasa menggunakan formalin untuk mengawetkan hasil tangkapannya. “Asap cair ini jadi alternatifnya,” ujarnya.
Tidak hanya sebagai pengawet, asap cair ini bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan sesuai dengan grade-nya. Semakin jernih asap cair yang dihasilkan, semakin baik kualitasnya. Grade 3 bisa digunakan untuk penyubur dan pengendali hama tanaman, penghilang bau pada getah karet, dan pengawet kayu agar tahan rayap. Grade 1 dan 2 bisa digunakan sebagai pengawet makanan, obat kulit, obat sariawan, bahan pengenyal, juga bahan kosmetik.
“Pada umumnya proses pembakaran briket batok kelapa paling bagus menghasilkan grade 2, tergantung pada seberapa bersih batik kelapa dari serabut dan seberapa kering. Kalau batoknya basah jadi grade 3. Supaya bisa jadi grade 1, dari grade 2 harus disuling lagi. Bisa juga dilakukan dnegan cara sederhana seperti direbus lagi lalu asapnya dialirkan ke pipa pendinginan lagi. Hasilnya akan lebih jernih,” tutur Asisten Peneliti Brian Dika.
Dengan alat sederhana ini, Dr. Susanna berharap setiap rumah mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar sendiri dengan memanfaatkan limbah tempurung kelapa. Bahkan, jika diorganisir dengan baik, briket hasil rumah tangga ini bisa dikumpulkan dan diekspor ke mancanegara.
“Baru pertama kali kami membuat lokakarya dengan masyarakat, mereka sangat antusias sekali. Banyak yang baru tahu, wah kok bisa ya tempurung kelapa dimanfaatkan seperti ini,” ujarnya.
Ia berharap, pemerintah setempat bisa ikut mendukung upaya pemanfaatan tempurung kelapa menjadi briket ini. Peran aktif pemerintah akan berpengaruh pada keberhasilan warga mencoba dan menekuni pembuatan briket batok kelapa ini.
Konsep pemanfaatan tempurung kelapa menjadi briket ini bisa diduplikasi oleh daerah-daerah pesisir di Indonesia lainnya. Dengan garis pantai yang panjang, daerah pesisir memiliki pohon kelapa yang berlimpah. Tempurung kelapa bisa dimanfaatkan tanpa harus menebang pohonnya.
Jika berhasil menggalakkan produksi briket dari tempurung kelapa, Indonesia bisa menjadi pemain penting dalam produksi briket dunia. Meski berwarna hitam, briket bisa menjadi komoditi yang bernilai tinggi bagi Indonesia. “Indonesia ini negeri kelapa, kita tidak kurang kelapa. Kenapa tidak briket tempurung kelapa ini dipromosikan? Sebagai negara kepulauan, hampir semua punya kelapa. Jangan jadi batok-batok saja. Briket ini bisa jadi emas hitam,” ujarnya.
Briket tempurung kelapa ini bisa menjadi jalan untuk menyejahterakan masyarakat di pulau-pulau terluar dan terpenci. Susanna menegaskan, batok kelapa hanya bisa menjadi emas jika sudah berupa briket. Jika hanya dijual berupa batok kelapa atau arang, harganya sangat murah. Pengetahuan dan keterampilan untuk mengubahnya menjadi briket akan menjadikan batok kelapa benda berharga layaknya emas.***