Pemanfaatan limbah kelapa sebagai alternatif energi terbarukan dan pengawet ikan alami

Mengubah Limbah Tempurung Kelapa Jadi Emas Hitam


Selasa, 8 Juni 2021

Artikel dari buletin bulanan "Terap" LPPM ITB ini dipublikasikan dalam sainster.com sebagai bagian dari kerja sama LPPM ITB dan idealogcom.id

Mengubah Limbah Tempurung Kelapa Jadi Emas Hitam

Limbah Tempurung Sabut Kelapa adalah “Emas Hitam”

Pulau-pulau terluar Indonesia kerap mengalami kesulitan bahan bakar. Distribusinya terkendala kondisi geografis yang pada akhirnya melambungkan harga bahan bakar. Di sisi lain, daerah pesisir kaya akan pohon kelapa. Peneliti ITB Susanna Nurdjaman memberdayakan masyarakat persisir dengan membuat briket dari tempurung kelapa. Selain menjadi solusi alternatif kebutuhan bahan bakar, briket menyimpan nilai ekonomi yang tinggi. Masyarakat di pulau terpencil seharusnya bisa sejahtera dengan “emas hitam” ini.

Daerah pesisir memiliki pohon kelapa yang melimpah. Tetapi belum semua bagiannya dimanfaatkan optimal. Paling banyak diambil buahnya, daging kelapa diambil santannya, sementara airnya dijadikan minuman penyejuk dahaga. “Tetapi batoknya dibuang. Kalau tidak begitu, paling hanya dipakai untuk bakar-bakar, rata-rata jarang dimanfaatkan,” kata peneliti ITB dari Kelompok Keahlian Oseanografi Dr. Susanna Nurdjaman saat diwawancara pada Senin, 5 April 2021.

Kondisi itu juga terjadi di kampung halamannya, Desa Kote, Kecamatan Singkep Pesisir, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. “Jadi kebetulan daerah ini di Kepulauan Riau, daerah kelahiran saya, jadi saya tahu banget situasinya,” ujarnya.  Masyarakat di sana masih banyak yang menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak karena lebih mudah ditemukan dan harganya lebih terjangkau dibandingkan minyak tanah maupun gas.

Penggunaan kayu bakar bukanlah pilihan yang ramah lingkungan mengingat semakin besarnya tekanan yang harus dipikul oleh hutan. Penggunaan kayu bakar dalam jumlah besar dan terus-menerus akan mengancam kelestarian hutan. Menurut Susannya, perlu solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar masyarakat di pulau-pulau terpencil. Alternatif tersebut tentu harus terjangkau agar tidak memberatkan perekonomian masyarakat.

Penggunaan briket bisa menjadi pilihan untuk mengganti bahan bakar fosil. Briket yang berbentuk blok bisa menjadi sumber nyala api. Briket haruslah mengandung karbon, itu sebabnya warnanya hitam. Selain berasal dari batu baram briket bisa terbuat dari kayu, gabah, sekam, maupun serbuk gergaji.

“Saya kepikiran, kenapa tidak masyarakat ini diberi pengetahuan kalau ternyata batok kelapa bisa dimanfaatkan untuk membuat briket. Dibandingkan arang, briket ini mempunyai nilai jual yang lebih tinggi,” kata Dr. Susanna.

Briket yang terbuat dari tempurung kelapa mempunyai beberapa keunggulan. Briket tempurung kelapa bisa menghasilkan panas yang tinggi dan kontinyu sehingga baik untuk pembakaran yang lama. Masyarakat juga tidak perlu khawatir karena penggunaan briket aman, tidak ada risiko meledak atau terbakar seperti yang bisa terjadi kompor dengan yang menggunakan gas elpiji maupun minyak tanah. Peralatan masak bisa lebih awet karena briket tidak menghasilkan jelaga. Tidak ada suara bising dari penggunaan briket. Secara kesehatan, briket juga lebih aman sehingga tak perlu khawatir jika harus masak berlama-lama dengan briket.


BACA JUGA:

Satay Science, Apakah yang Membuat Terasa Enak?


Briket juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Harga jualnya lebih tinggi di bandingkan arang. Harga jual arang hanya sekitar Rp 3.000 per kilogram, sedangkan briket bisa mencapai Rp 15.000-20.000 setiap kilogramnya. Jika masyarakat bisa memproduksi sendiri briket tempurung kelapa ini, setidaknya mereka bisa menghemat biaya yang biasa dihabiskan untuk membeli minyak tanah. Selain itu, permintaan briket di pasar internasional tergolong tinggi. Negara-negara Timur Tengah memerlukan briket untuk shisha. Briket juga diperlukan sebagai penghangat suhu ruangan pada musim dingin. Potensi pasar internasional ini juga bisa menjadi peluang ekonomi bagi warga.

Dr. Susanna beserta timnya, yaitu Faizal Ade. R. Abdullah (dosen Oseanografi ITB), dan mahasiswa magister sains kebumian Brian Dika P. Cahya, Khalid Haidar Algifari, Syarifudin Nur, dan Destika Widiawan (mahasiswa S2 Sains Kebumian), dan Arum Sekar (mahasiswa S1 Oseanografi) merancang sebuah alat pembuatan briket. Alat tersebut merupakan miniatur dari alat pembuatan briket pabrikan.

Warga Desa Kote kemudian diajari membuat briket tempurung kelapa menggunakan alat tersebut. Alat yang dibuat itu terdiri dari dua ruang (chamber) yang terhubung dengan pipa. Ruang pertama sebagai tempat pembakaran tempurung kelapa hingga menjadi arang, sementara ruang kedua merupakan ruang pendinginan. Di ruang kedua diisi air sehingga asap pembakaran yang disalurkan melalui pipa akan menyublim lalu menjadi cairan.

Ruang pembakaran berukuran 60x30 cm mampu membakar 3 kg batok  kelapa kering. Perlu waktu sekitar 70-75 menit hingga batok kelapa berubah menjadi arang. Setelah itu, arang batok ini dihaluskan dengan menggunakan mesin penggiling, bisa menggunakan blender ataupun alat penggiling lain asalkan proses penghalusan itu dilakukan tanpa air sama sekali. Semakin halus hasil penggilingan itu, semakin padat briket yang dihasilkan, semakin baik pula kualitasnya.

Halaman berikutnya: Briket untuk keperluan ekspor...

Halaman:  12
KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR