Di tahun 80-an, saya punya beberapa teman bergelar raden yang kemudian saya tahu merupakan gelar bagi turunan bangsawan. Mungkin, seharusnya memang ada yang bisa membedakan yang bergelar dan yang tidak. Tetapi tidak, saat itu kami bermain bola bersama di lapangan yang berlumpur kalau hujan. Dan kalaupun ada botram atau kemping, ya bekel-nya juga tidak jauh berbeda, masak liwet dengan ikan asin.
Saat itu tanda-tanda seseorang memiliki gelar kebangsawanan, baik itu kekuasaan, perilaku maupun warisan sudah tidak bisa dibedakan. Tampaknya, karena sudah turun temurun beberapa generasi, aura gelar itu akhirnya memudar karena penanda antara yang bergelar dan tidak juga sudah samar, setidaknya di lingkungan saya pada masa itu.
Signifikansi gelar kemudian bergeser pada gelar-gelar akademis atau gelar lain terkait agama dan pangkat di ketentaraan. Segelintir warga yang bergelar doktorandus atau insinyur lebih sering diungkapkan dengan nada bangga dan disebut sebagai kaum intelek. Sehari-hari, kaum intelek lebih terasa keberadaannya, karena sering menjadi rujukan warga dalam menyelesaikan masalah yang muncul atau setidaknya menjadi teladan ketika orang tua menasehati anak-anak.
Kaum “intelek”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang terpelajar, dengan daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Seperti kata kamus, dasar ilmu pengetahuan lah yang menjadi pembeda kaum intelek dengan warga biasa.
Setidaknya di lingkungan saya saat itu, kaum intelek yang ditandai dengan gelar akademis menunjukkan penanda keberadaan dan kemanfaatan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam membantu menyelesaikan masalah. Walaupun itu dulu, kesatuan gelar akademis dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan kemanfaatan bagi masyarakat sejatinya tidak berubah.
Istilah teori yang menjadi dasar keberadaan semua cabang ilmu pengetahuan diserap dari mitologi yunani “Theoros”. Seperti umumnya mitologi yang berupaya menjelaskan fenomena melalui personifikasi, Theoros digambarkan sebagai seorang dewa yang diutus ketika muncul masalah. Tugasnya mengamati dan berkontemplasi…
Dan, menurut filsuf Jerman, Hans-Georg Gadamer, tugas Theoros tidak berhenti pada kontemplasi atau berpikir semata, tetapi juga “being present”, hadir yang benar-benar hadir atau “completely present”. Kehadiran yang kata Gadamer, untuk kemanfaatan lain.
**
Ketika berbicara di forum “Course on Intelektual Writing Skills” yang digelar Salman ITB beberapa waktu lalu, saya mulai diskusi dengan tiga pertanyaan, “Darimana asal teori?”, “Bagaimana Teori Didapat?” dan “Apa gunanya teori?”
Hampir seluruh peserta yang berlatar belakang akademisi sepakat menjawab bahwa teori datang dari fenomena, kejadian, peristiwa, masalah yang ada di masyarakat. Teori didapat dengan penelitian, observasi, eksperimen, dengan metode ilmiah. Dan terakhir, teori berguna sebagai rujukan, acuan, cara pandang, prediksi dan pada akhirnya untuk menyelesaikan masalah itu sendiri.
Tengok saja tugas-tugas akademis, misalnya karya ilmiah, skripsi, tesis apalagi disertasi. Bagian pertama diwajibkan mengidentifikasi masalah, bagian kedua adalah teori-teori yang digunakan sebagai rujukan. Hingga bagian terakhirnya kesimpulan dan saran – sebagai tawaran solusi masalah yang diteliti.
Mengingat teori berasal dari peristiwa dan masalah yang ada di masyarakat, theoros memiliki utang intelektual mengembalikan teori yang dimiliki kepada masyarakat agar tidak sekadar menjadi objek identifikasi masalah. Mungkin ini yang dimaksud Gadamer mengenai “completely present”. Yang akademis, ilmiah dan teori berkelindan dengan kemanfaatan di masyarakat.
Namun, Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (baik http://kbbi.web.id/akademis maupun http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php yang saya unduh Minggu, 27 September 2015) justru menjelaskan lema “Akademis” adalah “1 mengenai (berhubungan dng) akademi: soal-soal --; 2 bersifat ilmiah; bersifat ilmu pengetahuan; bersifat teori, tanpa arti praktis yg langsung: pelajaran yg diberikan terlalu --.”
Penjelasan makna kata dalam KBBI ini jadi sangat kontradiktif, karena sesuatu yang akademis, bersifat ilmiah, ilmu pengetahuan, dan bersifat teori justru dinyatakan tidak memiliki arti praktis. Tetapi kamus punya alasan kuat, pemberian makna kata antara lain dilakukan dengan menangkap kaitan penggunaan kata dengan fenomena yang ada di masyarakat terkait kata tersebut.
Mungkin saat mencari makna kata ini, kamus tidak menangkap kelindan sesuatu yang ilmiah, ilmu pengetahuan dan teori dengan kehadiran dan kemanfaatan di masyarakat. Seperti gelar raden yang signifikansinya kemudian menjadi samar, gelar akademis mungkin mengalami hal yang serupa ketika yang asli tidak menunjukkan kehadiran dan kemanfaatan ilmu pengetahuan yang dimiliki sebagai pembeda dengan yang tidak asli.
Misalnya, kalau pun benar ada wisuda ilegal kampus “abal-abal” itu tidak ketahuan dan tidak digerebek, apa yang terjadi dengan 900-an wisudawan yang kemudian menenteng gelar yang mungkin palsu?
Mungkin tidak ada apa-apa juga.***